Mata pelajaran telah menjadi harga mati dalam pendidikan saat ini. Semenjak dini anak-anak telah mengenal apa itu pelajaran Bahasa, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam misalnya. Mereka bahkan semenjak dini telah mengenal daftar mata pelajaran. Bahkan mungkin pekerjaan pertama yang mereka lakukan pada hari pertama masuk sekolah dasar adalah menyalin daftar mata pelajaran.
Pendekatan ini sekarang diadopsi oleh hampir seluruh dunia. Ini adalah akibat kemenangan kubu konservatif di Era Reformasi di penghujung Renaissance. Sebelumnya para pelajar memiliki kebebasan memilih guru, pelajaran, bahkan jam belajar yang bebas dan semau gue. Kemenangan kaum konservatif ini salah satunya dipengaruhi oleh mulai menguatnya negara sepeninggal melemahnya kekuasaan gereja. Momen ini dimanfaatkan oleh negara untuk lebih mengendalikan warganya, salah satunya dengan pendidikan. Negara dengan kekuasaan penuh, didukung oleh gereja reformasi (Calvinist dan Lutheran), memaksakan sebuah sistem sekolah baru, dengan disiplin, absen, kurikulum tetap, mata pelajaran, jam pelajaran, peraturan sekolah dengan segala larangannya dan tentu saja hukuman (Butts, 1947: hal 272).
Pendekatan mata pelajaran, di luar pandangan umum, diawali oleh seorang ahli psikologi ketimbang seorang ahli pendidikan. Orang tersebut adalah Wilhelm Maxt Wundt, seorang ahli psikologi eksperimental. Wundt menganggap bahwa pendidikan adalah masalah respons dari stimulus luar. Ketidaktahuan akan sesuatu adalah penyakit yang dapat disembuhkan. Pendidikan direduksi menjadi sebuah modifikasi behavioral. Pendekatan ini diterapkan dengan baik oleh James Cattell, seorang psikolog Amerika, pionir dalam pengukuran intelegensia. Pendekatan inilah yang kelak melahirkan konsep seperti tujuan pengajaran (“learning objective”) dan tentu saja sistem penilaian. Pendidikan telah dilarikan dari pengajaran substansi menjadi pencapaian hasil akhir yang dapat diukur. Pendidikan yang broad-based pun kehilangan peminat yang lari ke pendekatan mata pelajaran dengan tujuan terukur. (Mitchell: Bab 3)
Apakah itu pendekatan tematik? Pendekatan tematik adalah cara pengemasan pelajaran dalam sebuah tema ketimbang mata pelajaran. Sebuah tema bisa memuat beberapa bidang keahlian yang dipelajari. Hasil akhir bukanlah hal yang utama melainkan pemaparan, pembukaan cakrawala. Kemampuan yang diperoleh oleh anak bisa jadi beragam, tidak harus sama pada setiap anak. Keunikan masing-masing anak harus dihargai. Beberapa anak mungkin bisa membaca lebih dahulu dari anak lain dan itu tidak apa-apa. Setiap anak tidaklah harus menempuh jalur yang sama dalam mempelajari sesuatu.
Pendekatan tematik adalah sebuah cara untuk tidak membatasi anak dalam sebuah “mata pelajaran” dalam mempelajari sesuatu. Misalnya, sambil belajar menyanyi seorang anak belajar alfabet. Atau sambil belajar mengenal hewan ia juga belajar mewarnai. Belajar mengenal tumbuhan liar dilakukan sambil hiking.
Belajar banyak hal sekaligus dalam satu tema besar melatih anak untuk mengaitkan apa yang telah dipelajarinya menjadi sebuah gambar besar yang utuh. Selain itu kebosanan anak akan suatu mata pelajaran dapat dikurangi karena banyaknya variasi. Mungkin seorang anak tidak suka berhitung, tetapi karena berhitung dikemas dalam sebuah permainan, sang anak jadi tertarik pada permainannya. Kebebasan berekspresi anak juga lebih mendapat tempat.
Beberapa contoh tema yang dapat diberikan adalah (1) Pada jaman dahulu kala, (2) Indonesia Tanah Airku, (3) Aku dan alam sekitarku, (4) Aku dan duniaku, (5) Aku suka…, (6) Angka ajaib dan huruf ajaib.
“Pada jaman dahulu kala” adalah sebuah kemasan tematik untuk mempelajari segala sesuatu pada masa lalu, sejarah dalam arti luas. Tema ini bisa saja diisi dengan mendongeng yang memang biasanya dimulai dengan frase “Pada jaman dahulu kala…”. Selain itu ia juga bisa diisi dengan biografi tokoh ternama, bahkan belajar membuat api dengan daun kering dan batu api. Kombinasi dengan lagu juga bisa, misalnya menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini” sambil melihat foto, dokumenter dan belajar riwayat hidupnya.
“Indonesia Tanah Airku” adalah tema yang ditujukan untuk menumbuhkan identitas anak sebagai seorang Indonesia. Tema ini bisa diisi dengan menyanyikan lagu-lagu wajib dan lagu-lagu daerah misalnya. Geografi yang disertai gambar ataupun film dokumenter akan sangat membantu. Serial “Anak Seribu Pulau” akan sangat membantu, kalau Anda bisa mendapatkan kopinya.
“Aku dan alam sekitarku” adalah kemasan tematik untuk belajar ilmu alam. Anak bisa diajak untuk belajar membuat herbarium dan mengumpulkan serangga. Kesadaran akan ekologi bisa ditumbuhkan dengan dini dengan kegiatan mengumpulkan sampah dan daur ulang. Bahkan acara memasak bisa dijadikan sebuah ajang untuk belajar tentang larutan dan titik didih air. Berkebun dengan tutor seorang petani setempat akan sangat mengasyikan. Belajar mengenal ikan yang dikemas sambil memancing juga dapat menjadi selingan yang kesegaran.
“Aku dan duniaku” diharapkan mengembangkan kesadaran anak akan keberadaan dirinya sebagai anggota masyakat dan warga dunia. Kegiatan seperti menyusun silsilah keluarga bisa menjadi sebuah kegiatan yang mengasyikan. Mereka bisa belajar mewawancarai sejak dini. Pengenalan budaya luar, baik budaya daerah lain maupun negara lain juga bisa menjadi sebuah pilihan. Budaya antri dan minta maaf juga bisa dimasukkan secara implisit.
“Aku suka…” adalah sebuah tema bebas yang telah disepakati bersama. Tanda titik-titik tersebut bisa diisi dengan apa saja. Tema ini dapat diberikan seminggu sekali. Bila tidak ada kata sepakat, pemungutan suara dapat dilakukan misalnya, sambil melatih demokrasi dan menghargai pendapat orang lain.
“Angka ajaib dan huruf ajaib” adalah kemasan untuk berhitung dan membaca. Kemampuan guru untuk mencari cara yang kreatif akan sangat menentukan keberhasilan pengajaran dalam tema ini. Bermain pasar-pasaran bisa dijalankan untuk belajar berhitung. Pendekatan belajar bahasa yang terlalu menonjolkan gramatika perlu ditinggalkan digantikan dengan penguasaan kosa kata. Kosa kata baru bisa membuka dunia anak ke hal-hal yang baru.
Dari contoh-contoh di atas terlihat beberapa benang merah: (1) kegiatan di luar kelas cukup banyak, (2) kreativitas guru sangat diharapkan, (3) tidak ada buku pelajaran yang bisa dijadikan sebagai acuan, sumber diambil dari ensiklopedia maupun buku umum, (4) bukalah dunia baru kepada anak selebar-lebarnya dan biarkan mereka menyerapnya.
by http://onisur.wordpress.com/2007/10/18/pelajaran-tematik/ --->On Everything
0 komentar:
Posting Komentar